Jumat, 23 April 2010

Resep Sukses Bangsa Jepang


Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantah terkena bom atom sekutu (Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit. Mau tidak mau harus diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan sudah menjelma menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi. Kali ini, saya mencoba merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak harus kita contoh. Berikut 10 resep sukses Bangsa Jepang :

1. KERJA KERAS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery) bermerk Matsushita yang terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini.


7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok”. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Dengan sedikit cerita dari saya, semoga artikel ini dapat memotivasi anda untuk menjadi lebih maju. Semangat!!

Sekolah demi IPK atau Skill?

Banyak orang masih berpendapat bahwa IPK adalah tujuan utama kuliah sehingga mereka menghabiskan waktunya mati2an untuk meraih IPK bahkan dengan mengorbankan hal-hal yg lain demi sebuah IPK. Harapan para pelajar ini adalah bahwa dengan pekerjaan akan mudah diraih jika mereka mendapatkan IPK setinggi-tingginya.

Aku pribadi berpendapat lain. Menurutku jika seseorang sekolah hanya mendapatkan IPK dan tidak mendapatkan lain-lainnya, maka dia telah membuang-buang umurnya sekolah bertahun-tahun hanya untuk selembar kertas yg tidak banyak gunanya. Sebaliknya, yg semestinya didapatkan oleh seorang alumni PT adalah skill dan IPK hanyalah sampingan saja.

Di sinilah kesalahan para pelajar yg kuliah tapi tidak tahu apa yg seharusnya mereka raih sewaktu kuliah. IPK bukanlah tujuan dari sebuah proses perkuliahan. Itu hanyalah sebuah standard pengukuran untuk engetahui keberhasilan mahasiswa tersebut dalam proses belajar.

Semestinya memang IPK itu menunjukkan skill seseorang. Namun pada kenyatannya, ada juga banyak metode yg bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa sehingga dia bisa meraih IPK tinggi namun tidak memiliki skill yg cukup. Oleh karenanya employer “tidak percaya” pada IPK . Employer tetap menguji si calon pegawai dengan wawancara dan berbagai test lainnya untuk melihat apakah si pelamar memiliki skill yg dibutuhkan atau tidak.

Skill tidak sama dengan Knowledge. Yg aku maksud itu memang skill alias keahlian. Knowledge itu hanyalah sebuah pengetahuan. Knowledge tidak bisa menjamin apakah seseorang itu mampu melakukan sesuatu atau tidak karena dia baru sampai di tahap tahu. Sementara seserang yg memiliki skill, tentu bisa melakukan sesuatu yg membutuhkan skill-nya tersebut.

Secara umum, skill itu bisa dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu:

1. Skill terhadap benda/alat
2. Skill terhadap manusia
3. Skill terhadap data

Di tempat kursus, yg bisa didapat hanyalah skill untuk menangani atau menghadapi benda-benda atau alat-alat. Sebagai contoh, seorang yg kursus montir, akan mampu mengganti busi, membuka roda mobil dan keahlian-keahlian lainnya untuk menangani benda tersebut (yg dalam hal ini adalah mobil). Tentu saja tidak semua tempat kurus juga bisa memberikan skill. Ada juga beberapa tempat kurus yg hanya memberikan knowledge/pengetahuan sementara lulusan kursus harus tetap berlatih di luar untuk mendaptkan skill.

Skill terhadap manusia tidak didapat dari tempat kursus. Skill ini didapat dari bersosialisasi dan berorganisasi. Di tempat kursus atau seminar hanya mungkin diberikan pengetahuan tentang skill ini, namun jika ingin menguasainya maka seseorang harus melatih dan menggunakannya. Tempat kursus/seminar tidak bisa menyediakan arena yg memadai untuk mendapatkan skill dalam kategori ini. Contoh skill yg masuk dalam kategori ini adalah: skill bernegosiasi, skill memotivasi orang lain, skill berkomunikasi yg efektif dan lain sebagainya.

Yg terakhir adalah skill terhadap data. Skill inilah yg semestinya didapatkan di bangku kuliah. Seorang lulusan perguruan tinggi diharapkan mempunyai skill untuk berhadapan dengan data. Seperti bagaimana waktu kuliah dulu, kita diajarkan dan dilatih bagaimana caranya melakukan observasi, memilih dan mengumpulkan sampling, mengolah data, menganalisa data, dan kemudian memberi kesimpulan atas data-data yg kita hadapi tersebut.

Jadi apakah berbeda orang yg masuk tempat kursus dengan orang yg sekolah? Jika si mahasiswa belajar dengan baik, maka tentu saja akan berbeda. Orang yg masuk tempat kursus itu melatih skill menghadapi benda, sementara orang yg masuk di bangku kuliah (S1, S2, S3) mengasah skill menghadapi data.

Yg perlu dicatat adalah bahwa Employer mencari pekerja-pekerja yg memiliki skill, bukan selembar kertas.

Di tempat kursus seseorang bisa memiliki sertifikat lulus ujian kursus. Dari PT, seseorang bisa mendapat ijazah dengan IPK tinggi. Namun itu semua bukan hal yg benar-benar dicari employer. Oleh karenanya employer menggunakan tahap seleksi lebih lanjut untuk menguji apakah orang-orang pemegang kertas ini memang benar-benar memilikk skill atau tidak.

So, jika anda memiliki selembar kertas, baik itu ijazah dengan IPK tinggi ataupun sertifikasi-sertifikasi lainnya, maka pastikan bahwa anda juga memiliki skill-nya. Jika tidak, maka anda mungkin akan kecewa karena employer tidak mau percaya begitu saja dengan kertas yg anda miliki sehingga masih menguji anda dengan wawancara dan metode uji lainnya untuk meyakinkan mereka.